Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Dasar K3 Pencegahan Kecelakaan Kerja

pencegahan-kecelakaan-kerja-k3

Dasar Hukum
Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menetapkan syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang berkaitan dengan pencegahan pekerjaan ditempat kerja. Pasal 9 ayat 1 (satu) 

Undang-undang No.1 tahun 1970 mewajibkan manajemem Perusahaan untuk menunjukkan dan menjelaskan:
Kondisi-kondisi dan bahaya serta yang dapat timbul dalam tempat kerjanya.
Semua pengaman dan alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerja.
Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
Cara-cara dan sikap kerja yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per 03/Men/1982 tentang pelayanan kesehatan kerja.

Pasal 1 ayat dua (2) Tujuan Pelayanan Kesehatan Kerja
“Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul daripekerjaan atau lingkungan kerja”.

Pasal 2 ayat satu (1) Tugas Pokok Pelayanan Kesehatan Kerja 
“Memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja ”Pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan zat gizi serta penyelenggaraan makanan ditempat kerja.

Pengendalian Risiko
Menurut Stoner (1995) pengendalian adalah proses untuk memastikan bahwa aktivitas sebenarnya sesuai dengan aktivitas yang direncanakan. Bagian penting dari proses pengendalian adalah mengambil tidakan korektif seperti yang diperlukan. 

Pengendalian risiko merupakan langkah selanjutnya setelah evaluasi risiko yang melibatkan penerapan kebijakan, standar prosedur perubahan fisik, untuk menghilangkan atau mengurangi risiko yang kurang baik.

Pada tahap ini risiko yang telah diidentifikasi dan dianalisis, dikaji ulang kembali menyeluruh agar dapat dikembangkan berbagai alternatif pengendalian dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti: komitmen manajemen dalam hal pengembangan K3, ketersediaan sumber daya, dan lain-lain. 

Ada beberapa sudut pandang dalam mengembangkan suatu pengendalian risiko yaitu tergantung penekanannya. Penentuan pengendalian risiko biasanya diawali dengan melakukan identifikasi dan tinjauan ulang terhadap pedoman pengendalian risiko yang sudah ada (Supriyadi, 2005).
Menurut AS/NZS 4360 (1999) ada 4 cara dalam pengendalian risiko yaitu:

Menghindari risiko 
Risiko yang ada pada pengendalian ini dihilangkan atau dikurangi sehingga tidak ada tingkat risiko yang dapat diterima. Pada dasarnya dalam suatu aktivitas 

Mengurangi risiko 
Risiko yang ada pada pengendalian ini dikurangi dengan cara memilih aplikasi tehnik yang sesuai dan asas manajemen untuk mengurangi kemungkinan kejadian atau dampaknya maupun mengurangi keduanya. 

Memindahkan risiko 
Dampak dari risiko yang ada dipindahkan atau ditransfer pertanggungjawabannya kepada pihak lain melalui perundang-undangan, seperti pihak kontaktor, perusahaan asuransi maupun pihak lainnya.

Berdasarkan risiko residu 
Risiko yang telah dikendalikan terkadang masih mempunyai risiko sisa yang harus ditangani atau dikendalikan. Teknik pengendaliannya berdasarkan hirarki pengendalian seperti engineering control, administrative control, dan Personal Protective Equipment (PPE). 

Pengendalian risiko berdasarkan hirarkinya menurut PERMENKER NO. 05/MEN/1996 sebagai berikut (Supriyadi, 2005): 

Pengendalian teknis atau rekayasa (engineering control)
Merupakan usaha menurunkan tingkat risiko yang terfokus pada rekayasa mesin, seperti modifikasi alat, cara kerja mesin dan komponen mesin. Contoh pengendalian teknik atau rekayasa yaitu:

Eliminasi
Merupakan metode pengendalian dengan cara menghilangkan bahaya dari tempat kerja, umumnya diterapkan pada material, proses dan kadang-kadang pada teknologi.

Substitusi
Merupakan usaha menurunkan tingkat risiko dengan mengganti beberapa potensial hazard (material dan proses) dengan sumber lain yang memiliki potensial bahaya yang lebih kecil.

Minimisasi
Merupakan usaha menurunkan tingkat risiko dengan mengurangi jumlah bahan berbahaya yang digunakan, disimpan dan mengurangi jumlah bahan berbahaya yang disimpan.

Isolasi
Merupakan usaha untuk memindahkan sumber pajanan bahaya dari lingkungan pekerja dengan menempatkannya pada tempat lain.

Pengendalian administratif (administrative control)
Merupakan usaha menurunkan tingkat risiko yang lebih mengutamakan pengendalian pada manajemen seperti:
Pembangunan kesadaran dan motivasi yang meliputi sistem bonus insentif, penghargaan dan motivasi diri. 
Pendidikan dan pelatihan 
Evaluasi melalui internal maupun eksternal. 
Membuat Standard Operating Procedure (SOP) yang baik untuk setiap pekerjaan yang ada. 
Memberikan atau melampirkan data keselamatan untuk setiap jenis pekerjaan yang menggunakan bahaya kimia. 
Mengadakan pengecekan kesehatan sebelum bekerja, berkala maupun khusus. 
Pengaturan jadwal kerja atau shift kerja. 
Alat pelindung diri (personal protective equipment) 

Penggunaan alat pelindung diri merupakan usaha untuk menurunkan tingkat risiko. Menurut uma’mur (1976) alat pelindung diri harus memenuhi persyaratan:
Enak dipakai 
Tidak mengganggu kerja 
Memberikan perlindungan yang efektif terhadap jenis bahaya. 
Alat pelindung diri mencakup bagian kepala, mata, muka, tangan dan jari-jari, kaki, alat pernafasan, telinga dan tubuh.

Pencegahan Kecelakaan Kerja
Pencegahan kecelakaan kerja adalah kesiagaan karyawan atau para karyawan untuk menjalankan tugasnya atau menyelesaikannya, sesuai dengan aturan kerja yang benar sehingga ia dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan efektif dan aman (Mangkusaputro, 1999).

Penatalaksanaan Pencegahan Kecelakaan Kerja
Arah dari sikap kerja selamat atau pencegahan kecelakaan kerja adalah kepada keselamatan diri, pekerja dan lingkungannya. Sikap ini harus diciptakan, dibina dan dipelihara terus agar tetap muncul tingkah laku kerja yang aman (Mangkusaputro, 1999).

Menurut Mangkusaputro (1999) langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melaksanakan pencegahan kecelakaan kerja adalah:
Menyusun kebijaksanaan tentang pencegahan kecelakaan kerja secara tertulis, serta mengkomunikasikannya kepada semua tenaga kerja diperusahaan tersebut.
Menjalankan kebijaksanaan tentang pencegahan kecelakaan kerja diperusahaan tersebut.
Kalau sudah berjalan ketentuan dan sudah menjalankan semua kebijaksanaan yang dibuat oleh perusahaan, itu bisa menjadi tolak ukur untuk planning kebijaksanaan yang selanjutnya.

Syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1970 pasal 3 syarat-syarat keselamatan kerja ayat 1 bahwa dengan peraturan perundang-undangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk:
Mencegah dan mengurangi kecelakaan
Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran
Mencegah dan mengurang bahaya peledakan
Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian lain yang berbahaya
Memberi pertolongan pada kecelakaan
Memberi alat perlindungan diri kepada para pekerja
Mencegah dan mengendalikan timbulnya atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan gelora.
Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik maupun psikis, keracunan, infeksi dan penularan.
Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;
Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
Memelihara kebersihan, keselamatan dan ketertiban.
Memperoleh keserasian antara tenaga kerja dan alat kerja.
Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang-orang, binatang, tanaman atau barang.
Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan.
Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang.
Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.
Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.



Tujuan Pencegahan Kecelakaan Kerja 
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1970 pasal 3 dari pemahaman diatas sasaran keselamatan kerja pada pencegahan kecelakaan kerja dari pekerjaan pengelasan adalah:
Mencegah terjadinya kecelakaan kerja.
Mencegah timbulnya penyakit akibat suatu pekerjaan.
Mencegah/ mengurangi kematian.
Mencegah/mengurangi cacat tetap.
Mengamankan material, konstruksi, pemakaian, pemeliharaan bangunan, alat-alat kerja, mesin-mesin, instalasi dan lain sebagainya.
Meningkatkan produktivitas kerja tanpa memeras tenaga kerja dan menjamin kehidupan produktifnya.
Mencegah pemborosan tenaga kerja, modal, alat dan sumbersumber produksi lainnya.
Menjamin tempat kerja yang sehat, bersih, nyaman dan aman sehingga dapat menimbulkan kegembiraan semangat kerja.
Memperlancar, meningkatkan dan mengamankan produksi industri serta pembangunan.

Dari sasaran tersebut maka keselamatan kerja ditujukan bagi:
Manusia (pekerja dan masyarakat)
Benda (alat, mesin, bangunan dll)
Lingkungan (air, udara, cahaya, tanah, hewan dan tumbuh tumbuhan)

Jangan ketinggalan info mengenai : Lowongan Kerja Seputar HSE Indonesia

Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja
Heinrich (1986) mendefinisikan pencegahan kecelakaan sebagai suatu program terintegrasi dengan sejumlah aktivitaf yang dikoordinasikan berdasarkan sikap, pengetahuan, dan kemampuan, dimana bertujuan untuk mengendalikan tindakan dan kondisi berbahaya. Pencegahan kecelakaan tersebut dapat berupa pendekatan langsung dan tidak langsung. 

Pendekatan langsung mencangkup pengendalian yang dilakukan terhadap performa personal dan lingkungan. Sementara itu, pendekatan tidak langsung bersifat jangka panjang, seperti instruksi kerja, serta pendidikan dan pelatihan bekerja.

Pencegahan kecelakaan yang diungkapkan oleh Heinrich menekankan pada hal-hal yang dapat mempengaruhi sikap pekerja. Pengembangan pencatatan kecelakaan sangat berperan dalam mengeliminasi penyebab kecelakaan. 

Apabila hal ini dilakukan, maka diharapkan dapat memberikan efek yang menguntungkan dalam perilaku pekerja. 

Adanya pencatatan kecelakaan dapat membantu dalam memperoleh informasi tentang tindakan berbahaya dan faktor personal yang berperan sebagai penyebab kecelakaan, sehingga tindakan perbaikan terkait perilaku pekerja dapat dilakukan untuk mewujudkan perilaku pekerja yang aman selama bekerja.

International Labour Office (1989) mengungkapkan beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan keselamatan kerja di dalam sektor industri, antara lain:
Pemenuhan peraturan-peraturan terkait dengan keselamatan kerja, seperti pengawasan, kewajiban pengusaha dan pekerja, pelatihan, pertolongan pertama, dan pemeriksaan kesehatan.
Penepatan standarisasi, baik resmi, setengah resmi, maupun tidak resmi, misalnya mengenai alat pengamanan perorangan.
Upaya penegakan peraturan yang harus dipatuhi dalam bentuk pengawasan.
Melakukan riset teknis terkait dengan kegiatan perusahaan untuk meminimalisasi bahaya yang ada.
Melakukan riset medis untuk mengetahui dampak fungsiologi dan patologis dari faktor lingkungan, fisik dan teknologi yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan ditempat kerja.
Melakukan riset psikologis untuk mengetahui pola psikologis yang menjadi penyebab kecelakaan.
Melakukan riset statistik untuk mengetahui jenis kecelakan yang terjadi, frekuensi kecelakaan, pekerja yang terlibat, serta penyebab kecelakaan.
Melakukan pendidikan dan pelatihan mengenai keselamatan kerja untuk pekerja, khususnya untuk pekerja baru.
Penerapan berbagai metode persuasi untuk meningkatkan kesadaran pekerja mengenai keselamatan ditempat kerja.
Asuransi dengan cara penyediaan dana untuk maningkatkan upaya pencegahan kecelakaan.

Tindakan pengamanan yang dilakukan oleh masing-masing pekerja.
Menurut Ridley (2004), sasaran pencegahan kecelakaan adalah mencegah terjadinya kecelakaan dan jika kecelakaan terjadi, mencegahnya agar tidak terulang kembali. Prosedur pencegahan kecelakaan kerja adalah mengidentifikasi bahaya, menghilangkan bahaya, mengurangi bahaya hingga seminim mungkin jika penghilangan bahaya tidak dapat dilakukan, melakukan penilaian resiko residual, mengendalikan resiko residual (Ridley, 2004).

Menurut Ridley (2004), teknik-teknik praktis pencegahan kecelakaan,  yaitu:
Nyaris, yaitu membudayakan pelaporan kecelakaan yang nyaris terjadi, menyelidikinya untuk mencegah kecelakaan serius, menumbuhkan budaya tidak saling menyalahkan.
Identifikasi bahaya, yaitu dengan melakukan inspeksi, melalui patroli dan inspeksi keselamatan kerja, dan sebagainya, laporan dari operator, laporan dalam jurnal-jurnal teknis.
Penyingkiran bahaya, yaitu dengan sarana-sarana teknis, mengubah pabrik, mengubah material, mengubah proses.
Pengukuran bahaya, yaitu dengan sarana teknis memodifikasi perlengkapan, pemberian perlindungan/kumbung, pemberian alat pelindung diri.
Melakukan penilaian sisa resiko/pengendalian resiko residual, yaitu dengan sarana teknis-alarm, pemutusan aliran, dan sebagainya, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang aman, pelatihan para pekerja.
Alat pelindung diri adalah alat yang digunakan oleh para pekerja selama menjalankan pekerjaan sesuai dengan kriteria pekerjaan masing-masing dengan maksud dan tujuan untuk melindungi pekerja agar selama bekerja mendapat kenyamanan dan keselamatan (Suma’mur, 1996).

Menurut Ridley (2004), perlindungan yang disediakan oleh beberapa jenis alat pelindung diri, yaitu:
Helm keras, dapat melindungi kepala dari benda-benda jatuh.
Tutup telinga dan sumbat telinga, dapat melindungi telinga dari suara bising.
Kaca mata pelindung, dapat melindungi mata dari debu dan partikel-partikel yang beterbangan.
Penutup hidung dan mulut (masker), dapat melindungi paru dari debu, asap, dan gas beracun.
Sarung tangan pelindung, dapat melindungi tangan dari tepi-tepi dan ujung yang tajam.
Sepatu pengaman, dapat melindungi kaki dari terpeleset, tertusuk benda tajam di lantai, benda jatuh.
Tali-temali pelindung, dapat melindungi diri dari terjatuh.

Definisi Kecelakaan
Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki, yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas dan dapat menimbulkan kerugian baik korban manusia maupun harta benda. Syarat-syarat keselamatan kerja ditetapkan salah satu untuk mencegah dan mengurangi kecelakaan dan termasuk di tempat kerja yang sedang dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya (UU No 1 Tahun 1970).
Kecelakaan memiliki definisi yang beragam menurut para ahli. Berikut ini adalah beberapa definisi kecelakan menurut beberapa sumber.

Heinrich (1980) mendefinisikan kecelakaan sebagai suatu kejadian yang tidak terencana dan tidak terkontrol yang merupakan aksi atau reaksi dari suatu objek, substansi, manusia, atau radiasi yang memungkinkan/dapat menyebabkan injury.

International Labour Office (1989), kecelakan merupakan kejadian yang tidak terencana dan terkontrol, yang disebabkan oleh manusia, situasi/faktor lingkungan, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut yang mengganggu proses kerja, yang dapat (ataupun tidak) menimbulkan injury, kesakitan, kematian, kerusakan properti, atau kejadian yang tidak diinginkan.

Frank E. Bird and George L. Germain mendefinisikan kecelakaan sebagai suatu kejadian tidak diinginkan yang menimbulkan kerugian pada manusia, kerusakan properti, ataupun kerugian proses kerja, sebagai akibat dari kontak dengan substansi atau sumber energi yang melebihi batas kemampuan tubuh, alat, atau struktur.

Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1970, kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki, yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas dan dapat menimbulkan kerugian, baik korban manusia atau harta benda.

Menurut OHSAS 180001 : 2007, incident didefinisikan sebagai kejadian yang terkait perkerjaan, dimana suatu cidera, sakit (terlepas dari tingkat keparahannya), atau kematian terjadi, atau mungkin dapat terjadi. Dalam hal ini, yang dimaksud sakit adalah kondisi kelainan fisik atau mental yang teridentifiksi berasal dari dan/atau bertambah buruk karena kegiatan kerja dan/atau situasi yang terkait pekerjaan.

Setelah melihat definisi dari berbagai sumber, maka dapat disimpulkan bahwa kecelakaan merupakan kejadian tidak terduga dan tidak diinginkan yang disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor dan dapat menimbulkan kerugian pada manusia berupa injury, kesakitan, kematian, kerusakan properti, ataupun gangguan pada proses kerja. 

Namun, ada beberapa hal penting yang harus dipahami terkait dengan pendefinisian accident (kecelakaan). Bird and Germain (1990) mengungkapkan tiga aspek penting dalam pemahaman accident, yaitu:

Dampak yang ditimbulkan kecelakaan tidak hanya cidera, tetapi juga kesakitan, seperti gangguan mental, saraf, ataupun gangguan sistematik akibat pajanan.

Terdapat perbedaan antara “injury” dan ”accident”, dimana injury disebabkan oleh accident, tetapi tidak semua accident menyebbkan injury.

Apabila ada kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan properti atau fasilitas, serta gangguan proses kerja, tetapi tidak menyebabkan injury, maka kejadian tersebut tetap dikategorikan sebgai accident.

Kerugian Akibat Kecelakaan Kerja
Teori Accident Cost Iceberg Pertama kali dikembangkan oleh Heinrich pada tahun 1937 dan diperbaharui oleh Frank E. Bird pada tahun 1974. Teori ini mengungkapkan bahwa kejadian kecelakaan tidak hanya menimbulkan kerugian berupa biaya perawatn medis dan kompensasi, tetapi juga menyebabkan kerugian lainnya yang kurang mendapat perhatian. 

Besarnya biaya yang tersembunyi akibat kecelakaan digambarkan sebagai gunung es yang hanya terlihat bagian ujung atasnya, sedangkan bagian lainnya tertutup dibawah laut. Bird (1990), perbandingan antara biaya yang nampak dengan biaya yang tersembunyi adalah 1:5 hingga 1:50.

Kerugian yang nampak berupa biaya perawatan medis dan kompensasi yang diasuransikan. Sedangkan, biaya akibat kecelakaan yang tidak nampak dan tidak diasuransikan, antara lain:
1. Biaya kerusakan gedung,
2. Kerusakan peralatan dan perkakas.
3. Kerusakan produk dan bahan.
4. Biaya pengeluaran persediaan dan peralatan darurat.
5. Biaya reparasi dang penggantian.

Besarnya biaya kerugian tersebut seharusnya membuat manajemen lebih memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan kerja dalam setiap proses pekerjaan untuk menghindari kerugian.

Pada tahun 1969 dilakukan studi kecelakaan di sektor industri dilakukan dengan menganalisis 1,753,498 kasus kecelakaan yang dilaporkan oleh 297 perusahaan yang mewakili 21 jenis industri berbeda (Bird dan Germain, 1990). 

Hasil studi ini mengungkapkan bahwa setiap ada satu kasus kecelakaan yang menyebabkan major injury (mengakibatkan kematian, cacat, hilangnya waktu kerja, atau perawatan medis), terdapat 9.8 kecelakaan yang menyebabkan minor injury (membutuhkan pertolongan pertama). Lebih lanjut, diungkapkan bahwa 30.2 kasus kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan properti terjadi dan 600 near-miss setiap satu kasus yang menyebabkan major injury. Dengan demikian, didapatkan rasio kecelakaan berdasarkan kerugian yang ditimbulkan.

Hal penting yang perlu diingat adalah rasio tersebut hanya didasarkan pada data kecelakaan yang dilaporkan, bukan semua kecelakaan yang terjadi di industri. 

Namun, rasio tersebut dapat mengungkapkan fakta bahwa kecelakaan yang menyebabkan major injury jarang terjdi, tetapi upaya pengendalian kecelakaan justru lebih ditekankan pada jenis kecelakaan tersebut. 

Sebaliknya, tindakan pencegahan untuk kasus kecelakaan yang menyebabkan minor injury atau pun near-miss kurang mendapay perhatian. Upaya pencegahan kecelakaan minor injury dan near-miss yang memiliki potensi kerugian tinggi.

Heinrich dalam ILO (1989) menyusun daftar kerugian terselubung sebagai akibat terjadinya kecelakan, antara lain:

Kerugian akibat hilangnya waktu karyawan yang luka.

Kerugian akibat hilangnya waktu karyawan lain yang terhenti bekerja karena rasa ingin tahu, rasa simpati, membantu karyawan yang terluka.

Kerugian akibat hilangnya waktu bagi para mandor, penyelia, atau para pemimpin lainnya antara lain sebagai berikut:

Membantu karyawan yang terluka.

Menyelidiki penyebab kecelakaan.

Mengatur agar proses produksi tetap berlangsung.

Memilih dan melatih karyawan baru.

Menyiapkan laporan peristiwa kecelakaan.

Kerugian akibat penggunaan waktu dari petugas pemberi pertolongan pertaman dan staf departemen rumah sakit, apabila pembiayaan ini tidak ditanggung oleh perusahaan asuransi.

Kerugian akibat rusaknya mesin, perkakas, atau peralatan lainnya atau oleh karena tercemarnya bahan baku/material.

Kerugian insidental akibat terganggunya produksi, kegagalan memenuhi pesanan pada waktunya, kehilangan bonus, pembayaran denda, dll.

Kerugian akibat pelaksanaa sistem kesejahteraan dan maslahat bagi karyawan

Kerugian akibat keharusan untuk meneruskan pembayaran upah penuh bagi karyawan yang terluka setelah mereka kembali bekerja, walaupun mereka hanya menghasilkan separuh dari kemampuan pada saat normal.

Kerugian akibat hilangnya kesempatan memperoleh laba dari produktivitas karyawan yang luka dan akibat dari mesin yang menganggur.

Kerugian yang timbul akibat ketegangan ataupun menurunnya moral kerja karena kecelakaan tersebut.

Kerugian biaya umum per karyawan yang luka, misalnya biaya penerangan, pemanasan, sewa, dan hal lain yang serupa yang terus berlangsung semasa karyawan yang terluka tidak produktif.

Statistik Kecelakaan Kerja
Seperti telah diungkapkan ILO (1989), statistik kecelakaan kerja merupakan salah satu bentuk upaya peningkatan keselamatan kerja perusahaan. 

Adanya statistik kecelakaan dapat mempermudah kita untuk memperoleh informasi tentang jenis kecelakaan, frekuensi, tingkat keparahan, golongan pekerja yang terkena, serta penyebab terjadinya kecelakan tersebut. Suma’mur (1997), statistik kecelakaan akibat kerja meliputi kecelakaan yang dikarenakan oleh atau diderita pada waktu menjalankan pekerjaan, yang berakibat kematian atau kelainan-kelainan, dan meliputi penyakit-penyakit akibat kerja. 

Selain itu, statistik ini juga dapat mencangkup kecelakaan yang dialami tenaga kerja selama dalam perjalanan ke atau dari perusahaan.

Statistik kecelakaan merupakan unsur penting yang sangat bermanfaat dalam upaya pencegahan kecelakaan. 
Dalam hal ini, data kecelakaan dapat dikumpulkan suatu perusahaan, baik yang berlokasi disuatu daerah, perusahaan dari suatu jenis indrustri tertentu, maupun seluruh perusahan disuatu negara. 

Adanya data statistik kecelakaan dari tahun ke tahun dapat bermanfaat untuk melihat apakah kecelakaan yang terjadi bertambah atau menurun. Selain itu, data tersebut juga dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana upaya pencegahan kecelakaan yang dilakukan telah berhasil menurunkan angka kecelakaan kerja. 

Sementara itu, statistik pada perusahan serupa dapat digunakan untuk menilai perusahaan yang lebih baik, sehingga keadaan-keadaan positif dapat diterapkan untuk mencegah terjadinya kecelakaan diperusahaan lainnya.

Suma’mur (1997) mengemukakan bahwa terdapat beberapa pokok pikiran yang sangat penting untuk memenuhi sifat perbandingan yang diharapkan bagi statistik, dalam upaya untuk mencegah kecelakaan, antara lain:

Statistik kecelakaan kerja harus disusun atas dasar definisi yang seragam mengenai kecelakaan dalam industri, dalam kerangka tujuan pencegahan pada umumnya, dan sebagai ukuran resiko kecelakaan pada khususnya. Semua kecelakaan yang didefinisikan tersebut harus dilaporkan dan ditabulasikan secara beragam.

Angka-angka frekuensi dan beratnya kecelakan harus dikumpulkan atas dasar cara-cara seragam. Harus pembatasan seragam tentang kecelakaan, cara-cara seragam untuk mengukur waktu menghadapi resiko, dan cara yang seragam untuk menyatakan besarnya resiko.

Klasifikasi industri dan pekerjaan untuk keperluan statistik kecelakaan harus selalu seragam.

Klasifikasi kecelakaan menurut keadaan-keadaan terjadinya dan menurut sifat dan letak luka atau kelainan harus seragam, dan dasar-dasar yang dipakai untuk menetapkan kriteria pemikiran harus selalu sama.

Data kecelakaan yang telah dicatat bukan merupakan satu-satunya bentuk monitoring terhadap performa kerja. Beberapa perhitungan juga diperlukan untuk melengkapi data tersebut. Tyler (2007), nilai atau manfaat pencatatan kecelakaan dapat dikembangkan untuk mendapatkan empat hal penting, yaitu:

Bukti histori yang dapat memudahkan perencanaan selanjutnya dan penetapan sasaran/target.

Data manajemen yang lengkap diperoleh dari hasil monitoring, sehingga dapat diketahui mengenai apa yang sebenarnya terjadi ditempat kerja.

Statistik yang akurat sehingga dapat dipercaya untuk meninjau dan mengaudit sistem pengukuran safety.

Informasi yang didapat dapat menarik perhatian dan memotivasi berbagai pihak, sehingga dapat mewujudkan budaya keselamatan.

Tyler (2007), perhitungan statistik yang digunakan sebagai pelengkap data kecelakaan, antara lain:

Incidence Rate
Perhitungan ini akurat karena membandingkan antara waktu dengan jumlah pekerja suatu perusahaan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa perhitungan ini belum memuaskan dalam hal kelengkapan karena perhitungan incidence rate belum mencangkup pekerja part-time, pekerja non-permanen, serta pekerja yang lembur. Berikut ini adalah formula perhitungan incidence rate menurut Health and Safety Executive (Tyker, 2007).

"Incidence rate = "  "Number of injuries in year" /"Average number employed during year"  " × 1.000.000" 

Frequency Rate
Perhitungan ini dapat lebih bermanfaat pada setiap organisasi karena mangukur jumlah injury yang terjadi akibat pajanan di tempat kerja dibandingkan dengan total jam kerja. Nilai sangat fleksibel dan dapat digunakan untuk mengukur berbagai tipe kecelakaan populasi besar.

"Frequency rate = "  "Number of injuries in the periode" /"Total numbers of hours worked"  " × 1.000.000" 

Safe - T Score
Safe T score adalah nilai indikator untuk menilai tingkat perbedaan antara dua kelompok yang dibandingkan. Apakah perbedaan pada dua kelompok tersebut bermakna atau tidak. Dalam statistik biasanya disebut sebagai t-test. Perbedaan ini dinilai untuk membandingkan kinerja suatu kelompok dengan kinerja sebelumnya. Hasil perbedaan ini dapat dijadikan apakah terjadi perbedaan yang mencolok atau tidak. Score positif dari Safe T Score mengindikasikan jeleknya record kejadian, sebaliknya score negatif menunjukkan peningkatan record terdahulu. Interpretasi dari Score ini selengkapnya sebagai berikut:
1. Safe T Score diantara +2.00 dan –2.00, artinya tidak ada perbedaan atau perbedaan tidak bermakna.
2. Safe T Score lebih besar atau sama dengan +2.00 menunjukkan menurunnya performance/kinerja K3, atau ada sesuatu yang salah.
3. Safe T Score lebih kecil atau sama dengan -2.00 menunjukkan membaikknya performance/kinerja K3, atau ada sesuatu yang baik dan perlu dipertahankan

Los Time Injury Rates (LTIR)
Merupakan perhitungan statistik kecelakaan yang terjadi menyebabkan hilangnya waktu kerja. Perhitungan waktu kerja yang hilang juga mencangkup kecelakaan atau injury yang menyebabkan pekerja tidak dapat melanjutkan pekerjaan untuk sementara waktu. Dengan kata lain, LTIR mampu mengatasi kelemahan dari perhitungan statistik lainnya yang tidak memperhitungkan ketidakhadiran pekerja.

Accident Severity Rate (ASR)
Merupakan perhitungan untuk mengetahui tingkat keparahan dari suatu kecelakaan yang terjadi. ASR mengukur banyaknya hari yang hilang akibat injury, yang pada umumnya di hitung per 1.000 pekerja. 

Namun, perhitungan ini tidak dapat mengungkapkan tingkat keparahan injury yang bersifat kronis, seperti hearing loss dan low back pain. Hal ini disebabkan karena keduanya tidak akan menyebabkan ketidakhadiran pekerja yang signifikan karena gejalanya baru timbul dalam waktu lama.

Pengertian Risiko 
Menurut The Australian Standard/New Zealand Standard (1999) “risk is the chance of likelihood of something happening and the consequencies if it does and sometimes can refer either to hazard or to chance of loss”. Risiko dapat didefinisikan sebagai kejadian yang tidak tentu yang dapat mengakibatkan suatu kerugian (Redja, 2003). 

Risiko juga dapat didefinisikan secara lebih terperinci yaitu seberapa besar kemungkinan suatu bahan atau material, proses, atau kondisi untuk menimbulkan kerusakan atau kesakitan dan kerugian (Supriyadi, 2005). Menurut Kolluru (1996) risiko dapat dikategorikan menjadi 5 yaitu:

Risiko Keselamatan
Risiko keselamatan memiliki tingkat probabilitas rendah, tingkat paparan tinggi, akut dan jika terjadi kontak langsung terlihat efeknya, penyebabnya lebih dapat diketahui serta lebih berfokus pada keselamatan manusia dan pencegahan kerugian di area kerja.

Risiko Kesehatan
Risiko kesehatan memiliki sifat probabilitas yang tinggi, tingkat paparan rendah, kronis, penyebabnya sulit diketahui dan fokusnya lebih ke kesehatan manusia.

Risiko Lingkungan dan Ekologi
Umumnya memiliki ciri-ciri permasalahan difokuskan pada dampak yang timbul terhadap habitat dan ekosistem yang lebih jauh dari sumber risiko.

Risiko Terhadap Masyarakat Publik
Komunitas dan pandangan masyarakat terhadap kinerja organisasi dan produksi, memperhatikan pada segi estetika, sumber daya dengan menggunakan batasan-batasan yang ada dampak negatif dari persepsi masyarakat seperti perubahan positif dari suatu tindakan yang lamban, semua hal tersebut terfokus pada penilaian dan persepsi masyarakat.

Risiko Keuangan
Dalam jangka pendek dan jangka panjang risiko dari kehilangan property dan pajak, mempertanggungjawabkan pajanan, asuransi terhadap lingkungan, kesehatan dan keselamatan, investasi.terfokus pada aspek operasional dan kelangsungan hidup secara finansial.

Dalam keselamatan dan kesehatan kerja risiko berarti risiko yang terdapat di lingkungan kerja yang dapat berasal dari bahan baku atau material, proses, kerja, proses produksi, lingkungan kerja, produk, limbah, dan pekerja itu sendiri. Hal tersebut membagi risiko menjadi 2 yaitu (Hendra, 2007):

Occupational Health Risk (Risiko Kesehatan Kerja)
Occupational health risk yaitu besarnya kemungkinan yang dimiliki oleh suatu bahan, proses, atau kondisi untuk menimbulkan terjadinya kesakitan, gangguan kesehatan, dan penyakit akibat kerja. 

Risiko kesehatan kerja dipengaruhi oleh:
1. Magnitude of hazard (konsentrasi dan dosis) 
2. Effect rating (Tingkat dampak fatality, very serious, serious, moderate, low, trivial) 
3. Probabilitas (kemungkinan) 
4. Frekuensi paparan 
5. Durasi paparan,
6. Jumlah pekerja yang terpapar 
7. Occupational Safety Risk (Risiko Keselamatan Kerja) 
8. Occupational safety risk adalah besarnya kemungkinan yang dimiliki oleh suatu bahan, proses, atau kondisi untuk menimbulkan terjadinya insiden, injury, terhentinya proses, dan kerusakan alat. 

Risiko kesalamatan kerja dapat dipengaruhi oleh:
1. Probabilitas (kemungkinan)
2. Konsekuensi (dampak fatal, very high, high, moderate, low,) 
3. Exposure (pemaparan).

Pemantauan dan Tinjauan Ulang
Pemantauan (monitoring) bertujuan melakukan survey rutin terhadap hasil yang dicapai dibandingkan dengan hasil yang diharapkan (target), sedangkan tinjauan ulang (review) bertujuan melakukan investigasi secara berkala terhadap situasi terkini (current situation), biasanya dengan fokus tertentu (Hendra, personal commuication). 

Risiko dan pengendaliannya perlu dipantau untuk menjamin level dan prioritas risiko tidak mengalami perubahan, oleh karena itu peninjauan ulang perlu dilakukan untuk menjamin bahwa manajemen risiko sesuai dengan tujuan yang diharapkan (AS/NZS 4360, 2004).

Demikianlah artikel mengenai Dasar Teori Pencegahan Kecelakaan Kerja - Akamigas Balongan, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan, referensi dan rujukan yang kami peroleh. Kami berharap agar pembaca sekalian memberikan kritik dan masukannya di kolom komentar untuk membangun kami kedepannya menjadi yang lebih baik lagi. Semoga artikel ini bermanfaat, wassalamualaykum warahmatullahi wabarakatu.
Sandiok
Sandiok QHSE Officer PT. Nindya Karya | D3 Fire and Safety of Balongan Oil and Gas Academy

Posting Komentar untuk "Dasar K3 Pencegahan Kecelakaan Kerja"